SULUK – MENEMPUH JALAN KEMBALI
KEPADA ALLAH
[TANYA] bersuluk, bermakna keberserahdirian. namun apakah yang
dilakukan/dikerjakan oleh orang2 yg bersuluk? amalannya? dimana? caranya?
kenapa? dan mengapa? (Nurhidayah)
[JAWAB] Bersuluk sebenarnya tidak tepat jika dikatakan bermakna
keberserahdirian. ‘Islam’ (aslama)-lah yang artinya ‘berserah diri’.
‘Islam’, adalah keberserahdirian dalam ketaatan dan pengabdian sejati kepada
Allah.
Bersuluk,
artinya ‘menempuh jalan’. Jalan yang dimaksud adalah ‘jalan kembali
kepada Allah’, yaitu ‘jalan taubat’ (ingat asal kata ‘taubat’ adalah ‘taaba’,
artinya ‘kembali’), atau jalan ad-diin. ‘Suluk’ secara harfiah berarti
‘menempuh’, (Sin – Lam – Kaf) asalnya dari Q.S. An-Nahl [16] : 69, “Fasluki subula
Rabbiki zululan,”
“…dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan (untukmu).” (Q. S. An-Nahl [16] : 69)
“…dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan (untukmu).” (Q. S. An-Nahl [16] : 69)
‘Menempuh
jalan suluk’ berarti memasuki sebuah disiplin selama seumur hidup untuk
menyucikan qalb dan membebaskan nafs (jiwa) dari dominasi
jasadiyah dan keduniawian, dibawah bimbingan seorang mursyid sejati (yang telah
meraih pengenalan akan diri sejatinya dan Rabb-nya, dan telah diangkat oleh
Allah sebagai seorang mursyid bagi para pencari-Nya), untuk mengendalikan
hawa nafsu, membersihkan qalb, juga belajar Al-Qur’an dan belajar agama,
hingga ke tingkat hakikat dan makna. Dengan bersuluk, seseorang mencoba untuk
beragama dengan lebih dalam daripada melaksanakan syari’at saja tanpa berusaha
memahami. Orang yang memasuki disiplin jalan suluk, disebut salik
(bermakna ‘pejalan’).
Ber-suluk
–bukan– mengasingkan diri. Ber-suluk adalah menjalankan agama
sebagaimana awal mulanya, yaitu beragama dalam ketiga aspeknya, ‘Iman’ –
‘Islam’ – ‘Ihsan’ (tauhid – fiqh – tasawuf) sekaligus, sebagai satu
kesatuan diin Al-Islam yang tidak terpisah-pisah. Secara sederhana, bisa
dikatakan bahwa bersuluk adalah ber-thariqah, walaupun tidak selalu
demikian.
Yang
dilakukan, adalah setiap saat berusaha untuk menjaga dan menghadapkan qalb
nya kepada Allah, tanpa pernah berhenti sesaat pun, sambil melaksanakan
syari’at Islam sebagaimana yang dibawa Rasulullah saw. Amalannya adalah ibadah
wajib dan sunnah sebaik-baiknya, dalam konteks sebaik-baiknya secara lahiriah
maupun secara batiniah. Selain itu ada pula amalan-amalan sunnah tambahan,
bergantung pada apa yang paling sesuai bagi diri seorang salik untuk
mengendalikan sifat jasadiyah dirinya, mengobati jiwanya, membersihkan qalbnya,
dan untuk lebih mendekat kepada Allah.
“Tidak
ada cara ber-taqarrub (mendekatkan diri) seorang hamba kepada-Ku yang
lebih Aku sukai selain melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Aku
fardhu-kan kepadanya. Namun hamba-Ku itu terus berusaha mendekatkan diri
kepada-Ku dengan melakukan (sunnah) nawafil, sehingga Aku pun
mencintainya. Apabila ia telah Aku cintai, Aku menjadi pendengarannya yang
dengan Aku ia mendengar, (Aku menjadi) pengelihatannya yang dengan Aku ia
melihat, (Aku menjadi) tangannya yang dengan Aku ia keras memukul, dan (Aku
menjadi) kakinya yang dengan Aku ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku,
sungguh, akan Aku beri dia, dan jika ia memohon perlindungan-Ku, Aku
benar-benar akan melindunginya.” (Hadits Qudsi riwayat Bukhari).
Dasar
segala amalan adalah Al-Qur’an dan tuntunan Rasulullah, demikian pula
amalan-amalan dalam suluk. Suluk tidak mengajarkan untuk meninggalkan syariat
pada level tertentu. Syariat (bahkan hingga hakikat dari pelaksanaan syariat)
tuntunan Rasulullah wajib dipahami dan dilaksanakan oleh seorang salik, hingga nafasnya
yang penghabisan.
Dimana?
Dimana pun, kapan pun. Setiap saat, selama hidup hingga nafas terakhir kelak.
Kenapa? Karena sebagian orang ingin memahami makna hidup, makna Al-Qur’an,
ingin hidup tertuntun dan senantiasa ada dalam bimbingan Allah setiap saat.
Sebagian orang ingin memahami agama, bukan sekedar menghafal dalil-dalil
beragama.
Jadi,
bersuluk kurang lebih adalah ber-Islam dengan sebaik-baiknya dalam sikap lahir
maupun batin, termasuk berusaha memahami kenapa seseorang harus berserah diri
(ber-Islam), mengetahui makna ‘berserah diri kepada Allah’ (bukan ‘pasrah’),
dalam rangka berusaha mengetahui fungsi spesifik dirinya bagi Allah, untuk apa
ia diciptakan-Nya.
Dengan
mengetahui fungsi spesifik kita masing-masing, maka kita mulai melaksanakan ibadah
(pengabdian) yang sesungguhnya. Sebagai contoh, shalatnya seekor burung ada di
dalam bentuk membuka sayapnya ketika ia terbang, dan shalatnya seekor ikan ada
di dalam kondisi saat ia berenang di dalam air. Masing-masing kita pun memiliki
cara pengabdian yang spesifik, jika kita berhasil menemukan fungsi untuk apa
kita diciptakan-Nya.
“Tidakkah
engkau mengetahui bahwa sesungguhnya ber-tasbih kepada Allah siapa pun
yang ada di petala langit dan bumi, dan burung dengan mengembangkan sayapnya.
Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara shalat-nya dan cara tasbih-nya
masing-masing. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka kerjakan.”
(Q. S. An-Nuur [24] : 41)
Inilah
ibadah (pengabdian) yang sejati: beribadah dengan cara melaksanakan
pengabdian pada Allah dengan menjalankan fungsi spesifik diri kita, sesuai
dengan untuk apa kita diciptakan-Nya sejak awal. Fungsi diri yang spesifik
inilah yang disebut dengan ‘misi hidup’ atau ‘tugas kelahiran’, untuk apa kita
diciptakan.
Sebagaimana
sabda Rasulullah:
Dari
Imran ra, saya bertanya, “Ya Rasulullah, apa dasarnya amal orang yang beramal?”
Rasulullah saw. menjawab, “Tiap-tiap diri dimudahkan mengerjakan sebagaimana
dia telah diciptakan untuk (amal) itu.” (H. R. Bukhari no. 2026).
Juga,
“…(Ya
Rasulullah) apakah gunanya amal orang-orang yang beramal?” Beliau saw.
menjawab, “Tiap-tiap diri bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau
menurut apa yang dimudahkan kepadanya.”(H. R. Bukhari no. 1777).
Tiap-tiap
diri. Setiap orang. Spesifik. Masing-masing memiliki suatu alasan penciptaan,
sebuah tugas khusus, sebuah amanah ilahiyah. Ketika seseorang menemukan tugas
dirinya, Allah akan memudahkan dirinya beramal dalam pengabdian sejati berupa
pelaksanaan akan tugas itu. Ia akan menjadi yang terbaik dalam bidang tugasnya
tersebut. Jalan ‘yang dimudahkan kepadanya’ inilah jalan pengabdian yang sesuai
misi hidup, sesuai untuk apa kita diciptakan Allah, sebagaimana Q. S. 16 : 69
tadi, “… tempuhlan jalan Rabb-mu yang dimudahkan (bagimu).”
Agama-agama
timur mengistilahkan hal ini dengan kata ‘dharma’. Para wali songgo di
Jawa zaman dahulu memberi istilah ‘kodrat diri’ atau kadar diri, sesuai istilah
dalam Qur’an. Ada juga yang menyebutnya dengan ‘jati diri’.
Segala
sesuatu diciptakan Allah dengan ketetapan, dengan tugas, dengan ukuran fungsi
spesifik tertentu. Demikian pula kita masing-masing, dan berbeda untuk
tiap-tiap orang. Al-Qur’an mengistilahkan hal ini dengan qadar. “Inna
kulli syay’in khalaqnaahu bi qadr.”
“Sesungguhnya
Kami menciptakan segala sesuatu dengan qadr.” (Q. S. Al-Qamar [54] : 49)
Kita,
karena ke-Mahapenciptaan Allah, mustahil diciptakan-Nya secara ‘murahan’ dan
‘tidak kreatif’ sebagai sebuah produk massal. Kita sama sekali bukan mass-product,
karya generik. Masing-masing kita dirancang Allah secara spesifik, tailor-made
orang-per-orang, dengan segala kombinasi kekuatan dan kelemahan yang diukur
dengan presisi oleh tangan-Nya sendiri.
Masing-masing
kita diciptakan-Nya dengan dirancang untuk memiliki sekian kombinasi ‘kadar’
keunggulan pada sisi tertentu dan kelemahan pada sisi lainnya, demi kesesuaian
untuk melaksanakan sebuah tugas, demi melaksanakan sebuah misi.
Menemukan
‘misi hidup’ adalah menemukan qadr diri kita sendiri sebagaimana yang
tersebut pada ayat di atas, sehingga kita memahami untuk (fungsi) apa kita
diciptakan. Kita menemukan qudrah Allah yang ada dalam diri kita
sendiri. Inilah maksudnya ‘mengenal diri’ dalam hadits “man ‘arafa nafsahu,
faqad ‘arafa rabbahu.”.
“Siapa
yang mengenal jiwa (nafs)-nya, akan mengenal Rabb-nya.”
Tentu
saja, dengan mengenal jiwa (nafs) otomatis juga mengenal Rabb,
karena pengetahuan tentang fungsi dan kesejatian diri kita hanya bisa turun
langsung dari sisi Allah ta’ala dan bukan dikira-kira oleh kita sendiri.
Turunnya pengetahuan sejati (‘ilm) tentang ini bukan kepada jasad maupun
kepada otak di jasad kita ini; melainkan hanya kepada jiwa (nafs), diri kita
yang sesungguhnya. Dalam jiwa (nafs) kitalah tersimpan pengetahuan
tentang diri dan pengetahuan tentang Allah, karena nafs-lah yang dahulu
mempersaksikan Allah dan berbicara dengan-Nya, sebagaimana diabadikan oleh
Al-Qur’an di surat Al-A’raaf [7] : 172;
“Dan
(ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan dari bani Adam, dari punggung
mereka, keturunan-keturunan mereka, dan mengambil kesaksian terhadap jiwa-jiwa (nafs-nafs;
anfus) mereka (seraya berkata): ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu.’ Mereka
menjawab: ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami bersaksi’….” (Q. S. [7] : 172)
Ketika
kita mengenal jiwa (nafs), kita mendapatkan pengetahuan tentang Allah, qudrah
Allah dan qadr diri yang tersimpan dalam jiwa kita. Dengan demikian,
kita pun mengenal Allah dan juga mengenal fungsi spesifik untuk apa kita
diciptakan-Nya (mengenal diri). Dengan melaksanakan fungsi tersebut, maka kita
pun melaksanakan pengabdian yang sejati kepada Allah sesuai tujuan-Nya
menciptakan kita. Kita mulai mengabdi (ya’bud) di atas agama-Nya (Ad-Diin)
dengan hakiki. Inilah maksud perkataan sahabat Ali r. a. yang termasyhur: “Awaluddiina
Ma’rifatullah.”
“Awal
Ad-Diin adalah mengenal Allah (ma’rifatullah)” (Sahabat Ali r.
a.)
Demikianlah
pengabdian (ibadah) yang hakiki. ‘Ibadah’ bukanlah sekedar puasa,
shalat, zakat, dan semacamnya; melainkan jauh, jauh lebih dalam dari itu. ‘Ibadah’
berasal dari kata ‘abid, bermakna, ‘abdi’, ‘hamba’, atau ‘budak’.
‘Ibadah’ pada hakikatnya adalah sebuah pengabdian, atau penghambaan
diri. Dan pengabdian yang hakiki adalah pengabdian dengan menjalankan tugas
ilahiyah sesuai dengan keinginan-Nya, menurut kehendak-Nya, untuk fungsi apa
Dia menciptakan kita.
Demikian
pula, status ‘Abdullah’ (‘abdi Allah/hamba Allah) maupun ‘Abdina’
(hamba Kami) adalah mereka yang sudah mengenali tugasnya dan sudah berfungsi
sesuai dengan yang sebagaimana Allah kehendaki bagi dirinya. ‘Hamba Allah’
adalah sebuah status yang tinggi.
Sekarang,
insya Allah kita jadi sedikit lebih memahami makna ‘dalam’ dari ayat tujuan
penciptaan jin dan manusia, “wama khalaqtul jinna wal insa illa
liya’buduun.”
“Dan
tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah
mengabdi/menghamba (ya’bud) kepada-Ku.” (Q. S. Adz-Dzariyaat [51] : 56)
Demikian
pula pada Q. S. Al-Faatihah [1] : 5,
“Kepada
Engkau kami mengabdi/menghamba (‘na’bud’,* dari ‘abid,), dan
kepada Engkau kami memohon pertolongan.” (Q. S. Al-Faatihah [1] : 5)
Semoga
kelak kita diizinkan Allah mampu melaksanakan pengabdian yang hakiki, dengan
dijadikan Allah termasuk ke dalam golongan ‘Abdullah’.
No comments:
Post a Comment